Selasa, 16 Desember 2008

JAMINAN HUKUM TINGKATKAN EKONOMI DI PELABUHAN BELUM OPTIMAL

Medan Bisnis, Selasa, 16-12-2008
*nana miranti

Jaminan hukum di pelabuhan sebagai salah satu tempat yang memiliki peran yang sangat strategis terhadap pertumbuhan dan pendapatan nasional untuk meningkatkan pembangunan ekonomi bangsa belum dilaksanakan secara optimal.

“Peran hukum dalam pembinaan dan pengembangan usaha-usaha di pelabuhan Indonesia, belum dilaksanakan secara optimal dalam menciptakan stabilitas dan keadilan bagi pengembangan usaha di pelabuhan, terutama untuk usaha jasa bongkar muat,” kata Hasnil Basri Siregar, dalam pidato pengukuhan guru besar tetap dalam bidang ilmu hukum dagang pada Fakultas hukum Universitas Sumatera Utara (USU), di Gelanggang Mahasiswa Kampus USU Padang Bulan Medan, Sabtu (13/12).
Menurut Hasnil, usaha jasa bongkar muat di pelabuhan belum disertakan dengan hukum yang optimal. Karena memang undang-undang dan kepastian hukumnya belum jelas. Padahal, pelabuhan dengan usaha jasa bongkar muat merupakan tempat yang memainkan peran sangat strategis dalam kebijakan ekonomi yang mengandalkan surplus perdagangan luar negeri (ekspor) dari sektor non migas. “Sasaran pengelolaan pelabuhan seperti peningkatan efisiensi dan produktivitas akan sulit tercapai, jika tidak ada regulasi yang diatur dengan sebaik-baiknya,” ungkapnya.
Dikatakan Hasnil, iklim usaha di pelabuhan akan menjadi kurang menarik jika unit usaha bongkar muat mengalami kendala karena kurang mendukungnya piranti hukum dalam pelaksanaannya. Memang permasalahannya bukan dari segi kuantitas dari piranti hukum tersebut, tapi lebih kepada kualitas pelaksanaannya.
“Posisi dan keberadaan perusahaan bongkar muat yang berjumlah hampir 800 perusahaan, dengan 14.000 karyawan makin terpojok karena tidak adanya kepastian hukum pelabuhan,” katanya.
Dipaparkannya, permasalahan kualitas tersebut, antara lain seringnya dibuat peraturan yang silih berganti dengan membawa sejumlah persyaratan dan kondisi yang berubah-rubah, sehingga mengaburkan stabilitas dan prediksi dari unit usaha bongkar muat.
“Perubahan aturan hukum di pelabuhan, membuat para pelaku usaha sulit memahami arah pembangunan dan membuat bisnis plan di sektor usaha pelabuhan,” ujarnya.
Belum lagi, banyaknya piranti hukum dipelabuhan yang dibuat tidak singkron atau saling tumpang tindih, baik secara vertikal maupun horizontal. Seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70/1996 yang menyatakan bahwa perusahaan bongkar muat memiliki posisi yang sejajar dengan penyelengara pelabuhan, dinyatakan cacat. Karena tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21/1992, yang telah mengatur fungsi masing-masing pihak yang terlibat dalam usaha di pelabuhan.
“Seringnya terjadi ketidaksingkronan ini, karena pola pembinaan dan pengembangan usaha dipelabuhan bersifat sangat prakmatis dan cenderung berubah-rubah. Ini membuktikan bahwa tidak ada pola yang jelas dalam menentukan arah pengembangan usaha dipelabuhan,” terangnya.
Akibat dari peran hukum yang belum optimal untuk menciptakan keadilan di dunia usaha pelabuhan Indonesia adalah, tumbuhlah monopoli usaha oleh PT Pelabuhan Indonesia (Persero). Padahal di UU Nomor 5/1999 telah dijelaskan bahwa dilarang memonopoli dan melakukan persaingan usaha yang tidak sehat di Indonesia.
Untuk itu, ujar Hasnil, agar pelaksanaan peraturan dan perundang-undangan pelabuhan yang telah ada dapat dijalankan secara berkualitas, perlu adanya pendekatan partisipasi, dengan melibatkan semua pihak, termasuk stakeholder dalam perumusan setiap kebijakan. Serta adanya penyusunan peraturan pemerintah kembali tentang pembagian wewenang dari masing-masing fungsi yang berperan di pelabuhan sesuai dengan UU Pelayaran terbaru nomor 17/2008.

Tidak ada komentar: