Jumat, 31 Oktober 2008

IN MEMORIAM LAFRAN PANE; ISLAM DAN INDONESIA

Sumber: HMI Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya

http://www.hmikomtpub.or.id/cetak.php?id=193&PHPSESSID=6ca6726aeadec1abc228682a27c61bc9

Oleh: Hariqo Wibawa Satria*

Sebelum lebih jauh, perlu penulis sampaikan bahwa tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengidentikan pemikiran HMI dengan sosok Lafran Pane, karena di HMI sendiri tidak ada tradisi pengkultusan individu, siapa saja boleh mewarnai corak pemikiran dalam organisasi ini, bahkan orang yang bukan kader HMI. Maka cukup keliru ketika dikatakan bahwa pemikiran HMI adalah pemikiran Nurcholish Madjid. Tulisan ini hadir dalam rangka merefleksikan kembali semangat keislaman-keindonesiaan HMI. Sebuah organisasi yang muncul 2 tahun setelah kemerdekaan Indonesia, yang diprakarsai oleh Lafran Pane.

Almarhum Prof.Drs.H.Lafran Pane (Wafat 25 Januari 1991) adalah tokoh pemrakarsa pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan pemrakarsa proklamasi, namun hanya masyarakat terbatas yang mengenalnya. Meskipun dari HMI yang didirikan bersama kawan-kawannya telah lahir manusia-manusia-manusia unggul yang jauh lebih dikenal masyarakat ketimbang dirinya. Tokoh-tokoh intelegensia seperti Dahlan Ranuwiharjo, Deliar Noer, Nurcholish Madjid, Ahmad Syafi Maarif, Kuntowijoyo, Endang Syaifuddin Anshori, Chumaidy Syarif Romas, Agussalim Sitompul, Dawam Rahardjo, Immaduddin Abdurrahim, Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Ichlasul Amal, Azyumardi Azra, Fachry Ali, Bahtiar Effendy, dll,
Terdapat juga tokoh-tokoh sosial-ekonomi-politik seperti HMS Mintaredja, M,Sanusi, Bintoro Cokro Aminoto, Ahmad Tirtosudiro, Amir Radjab Batubara, Mar’ie Muhammad, Sulastomo, Ismail Hasan Metareum, Hamzah Haz, Bachtiar Hamzah, Ridwan Saidi, Jusuf Kalla, Amien Rais, Akbar Tanjung, Fahmi Idris, Mahadi Sinambela, Ferry Mursyidan Baldan, Hidayat Nur Wahid, Marwah Daud Ibrahim, Munir SH, Adyaksa Dault, Abdullah Hemahua, Yusril Ihza Mahendra, Syaifullah Yusuf, Bursah Jarnubi, Hamid Awwaluddin, Jimlie Asshiddiqi, Anas Urbaningrum, dll.
Tidak berlebihan jika Yudi Latif, Lulusan (S-3) Australian National University (ANU) dalam bukunya “Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20,hal 502 menyebutkan : Lafran Pane sebagai generasi ketiga inteligensia muslim Indonesia setelah generasi pertama (Tjokroaminoto, Agus Salim,dll), generasi kedua (M. Natsir, M. Roem dan Kasman Singodimedjo pada 1950-an), generasi keempat (Nurcholish Majid, Imadudin Abdurrahim dan Djohan Efendi pada 1970-an).
Lafran Pane lahir di kampung Pagurabaan, Kecamatan Sipirok, yang terletak di kaki gunung Sibual-Bual, 38 kilometer kearah utara dari Padang Sidempuan, Ibu kota kabupaten Tapanuli Selatan. Sebenarnya Lafran Pane lahir di Padangsidempuan 5 Februari 1922. Untuk menghindari berbagai macam tafsiran, karena bertepatan dengan berdirinya HMI Lafran Pane mengubah tanggal lahirnya menjadi 12 April 1923.
Beliau adalah adik dari tokoh sejarawan terkemuka di Indonesia yaitu Sanusi Pane dan tokoh pujangga baru Armijn Pane, Ayahnya bernama Sutan Pangurabaan Pane adalah tokoh Partai Indonesia (PARTINDO) di Sumatera Utara. Sebelum masuk Sekolah Tinggi Islam (STI) latar belakang pendidikan yang utama dari Lafran Pane adalah Pesantren, HIS, MULO, dan AMS Muhammadiyah. Dia juga pernah belajar disekolah-sekolah nasionalis, seperti Taman Aksara di Sipirok dan Taman Siswa di Medan (Agussalim Sitompul 1976).
Sebelum tamat dari STI Lafran pindah ke Akademi Ilmu Politik (AIP) pada bulan April 1948. Setelah Universitas Gajah Mada (UGM) dinegerikan tanggal 19 desember 1949, dan AIP dimasukkan dalam fakultas Hukum, ekonomi, sosial politik (HESP). Dalam sejarah Universitas Gajah Mada (UGM), Lafran termasuk dalam mahasiswa-mahasiswa yang pertama mencapai gelar sarjana, yaitu tanggal 26 januari 1953. Dengan sendirinya Drs. Lafran pane menjadi Sarjana Ilmu Politik yang pertama di Indonesia.
Mengenai Lafran Pane Sujoko Prasodjo dalam sebuah artikelnya di majalah Media nomor : 7 Thn. III. Rajab 1376 H/ Februari 1957, menuliskan :“ Sesungguhnya, tahun-tahun permulaan riwayat HMI adalah hampir identik dengan sebagian kehidupan Lafran Pane sendiri. Karena dialah yang punya andil terbanyak pada mula kelahiran HMI, kalau tidak boleh kita katakan sebagai tokoh pendiri utamanya”.
Semasa di STI inilah Lafran Pane mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (hari rabu pon, 14 Rabiul Awal 1366 H /5 Februari 1947 pukul 16.00). HMI merupakan organisasi mahasiswa yang berlabelkan “islam” pertama di Indonesia dengan dua tujuan dasar. Pertama, Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Dua tujuan inilah yang kelak menjadi pondasi dasar gerakan HMI sebagai organisasi maupun individu-individu yang pernah dikader di HMI.
Jika dinilai dari perspektif hari ini, pandangan nasionalistik rumusan tujuan tersebut barangkali tidak tampak luar biasa. Namun jika dinilai dari standar tujuan organisasi-organisasi Islam pada masa itu, tujuan nasionalistik HMI itu memberikan sebuah pengakuan bahwa Islam dan Keindonesiaan tidaklah berlawanan, tetapi berjalin berkelindan. Dengan kata lain Islam harus mampu beradaptasi dengan Indonesia, bukan sebaliknya.
Dalam rangka mensosialisasikan gagasan keislaman-keindonesiaanya. Pada Kongres Muslimin Indonesia (KMI) 20-25 Desember 1949 di Yogyakarta yang dihadiri oleh 185 organisasi alim ulama dan Intelegensia seluruh Indonesia, Lafran Pane menulis sebuah artikel dalam pedoman lengkap kongres KMI (Yogyakarta, Panitia Pusat KMI Bagian Penerangan, 1949, hal 56). Artikel tersebut berjudul “Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia”.
Dalam tulisan tersebut Lafran membagi masyarakat islam menjadi 4 kelompok. Pertama, golongan awam , yaitu mereka yang mengamalkan ajaran islam itu sebagai kewajiban yang diadatkan seperti upacara kawin, mati dan selamatan. Kedua, golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang ingin agama islam dipraktekan sesuai dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad S.A.W. Ketiga, golongan alim ulama dan pengikutnya yang terpengaruh oleh mistik. Pengaruh mistik ini menyebabkan mereka berpandangan bahwa hidup hanyalah untuk akhirat saja. Mereka tidak begitu memikirkan lagi kehidupan dunia (ekonomi, politik, pendidikan).
Sedangkan golongan keempat adalah golongan kecil yang mecoba menyesuaikan diri dengan kemauan zaman, selaras dengan wujud dan hakikat agama Islam. Mereka berusaha, supaya agama itu benar-benar dapat dipraktekan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini. Lafran sendiri meyakini bahwa agama islam dapat memenuhi keperluan-keperluan manusia pada segala waktu dan tempat, artinya dapat menselaraskan diri dengan keadaan dan keperluan masyarakat dimanapun juga. Adanya bermacam-macam bangsa yang berbeda-beda masyarakatnya, yang terganting pada faktor alam, kebiasaan, dan lain-lain. Maka kebudayaan islam dapat diselaraskan dengan masyarakat masing-masing.
Sebagai muslim dan warga Negara Republik Indonesia, Lafran juga menunjukan semangat nasionalismenya. Dalam kesempatan lain, pada pidato pengukuhan Lafran Pane sebagai Guru Besar dalam mata pelajaran Ilmu Tata Negara pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP Yogyakarta (sekarang UNY), kamis 16 Juli 1970, Lafran menyebutkan bahwa Pancasila merupakan hal yang tidak bisa berubah. Pancasila harus dipertahankan sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Namun ia juga tidak menolak beragam pandangan tentang pancasila, Lafran mengatakan dalam pidatonya:
“ Saya termasuk orang yang tidak setuju kalau Pemerintah atau MPR mengadakan interprestasi yang tegar mengenai pancasila ini, karena dengan demikian terikatlah pancasila dengan waktu. Biarkan saja setiap golongan mempunyai interpretasi sendiri-sendiri mengenai pancasila ini. Dan interpretasi golongan tersebut mungkin akan berbeda-beda sesuai dengan perkembangan zaman. Adanya interpretasi yang berbeda-beda menunjukan kemampuan pancasila ini untuk selam-lamanya sebagai dasar (filsafat) Negara “. (hal.6)
Dari tulisan diatas nampak Lafran sangat terbuka terhadap beragam interpretasi terhadap pancasila, termasuk pada Islam. Islam bertumpu pada ajarannya memiliki semangat dan wawasan modern, baik dalam politik, ekonomi, hukum, demokrasi, moral, etika, sosial maupun egalitarianisme. Egalitarianisme ini adalah faktor yang paling fundamental dalam Islam, semua manusia sama tanpa membedakan warna kulit, ras, status sosial-ekonomi.
Wajah islam yang seperti ini selazimnya dapat dibingkai dalam wadah keindonesiaan. Wawasan keislaman dalam wadah keindonesiaan akan sesuai dengan perkembangan waktu dan tempat. Untuk kepentingan manusia kontemporer diseluruh jagat raya ini sebagai rahmatan lil alamin. Allahummagfirlahu.



* Hariqo Wibawa Satria (Rico Ws)
Sekretaris Umum) HMI Cabang Yogyakarta Periode 2007-2008, Saat ini sedan mempersiapkan buku pemikiran dan gerak pendiri HMI, Prof.Dr.Lafran Pane
www.ricows.worpress.com




Biodata singkat

Nama : Hariqo Wibawa Satria (www.ricows.wordpress.com)
Asal : Bukittinggi – Sumatera Barat
Alamat : Gedung Amal Insani, Jln RingRoad Utara No 4, Maguwoharjo
Hp : 085263835899
(pbhmi)

Tidak ada komentar: