Oleh: Mohammad NUH
Menteri Komunikasi dan Informatika RI
sumber: republika.co.id
Hingga di penghujung rencana pengesahan terhadap RUU Pornografi oleh DPR, silang pendapat masalah itu di masyarakat dan juga di kalangan anggota DPR masih berlanjut, titik temu dalam menyatukan mereka yang pro dan kontra terus diupayakan, meskipun perjalanannya sangat berliku dan terkadang melelahkan. Karena memang pembahasannya saja memerlukan waktu enam tahun lebih.
Berpijak dari kenyataan tersebut, tulisan ini ingin menguraikan sebagian alasan tentang pentingnya UU Pornografi. Tentu pendekatannya tidak untuk memaksakan kehendak agar mereka yang kontra dapat menerima dan memberikan dukungan terhadap mereka yang pro. Sekali lagi tidak!Alasan ini perlu disampaikan, mengingat objektivitas memang harus selalu dikedepankan manakala kita ingin menemukan titik temu dalam berbagai persoalan di masyarakat yang menuai pro-kontra.
Sedikitnya ada tiga alasan mengapa kita sebagai bangsa dan negara yang besar ini membutuhkan UU Pornografi. Pertama, UU ini dapat dijadikan komitmen dan cerminan dari upaya untuk mencapai tujuan dari bangsa dan negara. Dalam Pembukaan UUD 1945, jelas tertuang tentang landasan apa yang harus dijadikan pegangan dalam membangun bangsa dan negara ini ke depan. Maka sesungguhnya, kehadiran UU ini menjadi salah satu realisasi dan upaya mewujudkan cita-cita dari para pendiri bangsa ini, sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Pertanyaannya, mengapa selama ini perihal UU yang berkait dengan pornografi belum pernah dijadikan agenda pembahasan? Jawabnya tentu, bukan lantaran yang sebelum ini tidak ingin terjadi perpecahan--sebagaimana alasan mereka yang kontra terhadap UU ini tapi lebih karena perhatian kita selama ini masih pada persoalan dasar bagaimana membangun bangsa dan negara ini ke depan lebih baik.
Kedua, sebagai framework dalam menjalankan tata kelola pemerintahan dan bangsa. Pertanyaannya, apakah tidak cukup dengan konvensi, norma kesusilaan, atau etika publik yang selama ini telah dijunjung tinggi di masyarakat kita? Perlu dipahami, baik konvensi, norma kesusilaan, maupun etika publik, sesungguhnya memiliki keterbatasan, bisa mengalami pasang-surut dan perubahan sesuai dengan dinamika di masyarakat. Atas kenyataan itulah maka pilihan yang tepat untuk mengawal ke arah pembangunan bangsa dan negara ini lebih baik dalam tataran nilai dan kesusilaan diperlukan UU Pornografi sebagai framework.
Ketiga, sama-sama kita yakini, bahwa pembangunan karakter, jati diri bangsa sangatlah penting, strategis dan untuk dewasa ini sangat mendesak. Karakter bangsa menggambarkan potensi dan nilai yang dimiliki oleh suatu bangsa dan menjadi modal yang sangat mahal. Sehingga, hal-hal yang menghambat dan mengganggu 'kemuliaan' jati diri harus dicegah. Harapannya, melalui UU Pornografi inilah maka bisa memperkuat tatakrama yang sudah ada di masyarakat yang selama ini dianggap cukup sebagai sebuah konvensi, norma kesusilaan, maupun etika publik.
Mengapa UU Pornografi ini penting dan mendesak? Fakta di masyarakat menunjukkan persoalan terbesar terkait patologi sosial atau penyakit kemasyarakatan sering kali berkait dengan persoalan judi, minuman keras (termasuk narkoba) dan perzinahan, yang kesemuanya sangat berhimpitan dengan persoalan pornografi. Patologi sosial itu beserta turunannya bersifat kompleks dan memiliki dampak negatif luar biasa terhadap kualitas kesehatan kemasyarakatan, dan tentu ujung-ujungnya pada kualitas bangsa. Inilah salah satu alasan tentang penting dan urgensinya UU pornografi.
Dalam memahami kompleksitas patologi sosial, pendekatan Benefit Comparative (membandingkan besar kecilnya manfaat-mudharat) sering kali digunakan. Pendekatan ini memberikan pelajaran sangat menarik tentang pentingnya mengedepankan rasionalitas, keutuhan (comprehensiveness), moralitas, dan kedewasaan. Seseorang bisa membandingkan antara satu perkara dengan perkara lain dalam ranah kompleks memerlukan rasionalitas yang kuat, keutuhan dalam memandang persoalan dan integritas moral yang tinggi.
Dan pada saat memilih (mengambil keputusan) harus bersikap dewasa, artinya pertimbangan rasionalitas dan moralitas menjadi landasannya, bukan sekadar suka-tidak suka ()ike and dislike. Pemabukan akibat minuman keras misalnya, bukan berarti tidak memberikan kemanfaatan, tetap ada manfaatnya. Misalkan dapat membuka kesempatan dan menyerap tenaga kerja. Tetapi, mudharatnya jauh lebih besar dibanding dengan manfaat yang diberikannya. Konsekuensi logisnya dan dengan sikap dewasa, ditinggalkanlah kepemabukan itu.
Demikian juga dalam memahami RUU Pornografi. Setelah melalui proses yang panjang dan berliku teramsuk uji publik di beberapa daerah (antara lain, Ambon, Manado, Bali, dan DKI Jakarta), akhirnya pada rapat Pendapat Akhir Mini Fraksi DPR RI pada 28 oktober 2008, telah disepakati semua fraksi kecuali FPDI-P dan Damai Sejahtera, RUU Pornografi insya Allah dalam waktu dekat akan disahkan menjadi UU Pornografi melalui rapat Paripurna DPR.
Beberapa alasan bagi mereka yang keberatan disahkannya UU Pornografi ini adalah: (i) dimasukkannya 'gerak tubuh' sebagai salah satu objek dalam definisi pornografi (Pasal 1 ayat 1). Meskipun mereka setuju: gambar, sketsa, foto, tulisan termasuk gambar bergerak sebagai objek dalam definisi tersebut. Kalau gambar bergerak dan foto saja bisa mengintrodusir kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat, apalagi gerak tubuh. Striptease (mohon maaf) misalkan, jelas merupakan gerak tubuh dan bisa mengintrodusir kecabulan. Itulah alasan dan pertimbangan fraksi-fraksi yang menyetujui 'gerak tubuh' masuk dalam objek definisi.
(ii) Adanya kekhawatiran UU Pornografi ini menistakan dan meniadakan kemajemukan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan. Padahal, dalam tujuan UU Pornografi (Pasal 3) sangat jelas disebutkan, bahwa UU Pornografi ini bertujuan tetap menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk. Untuk itu, tidak ada landasan rasionalitasnya munculnya kekhawatiran sebagaimana yang sering disuarakan oleh kelompok yang kontra terhadap UU Pornografi.
Kehadiran UU Pornografi harus disyukuri dan disambut dengan baik, karena kehadiran UU Pornografi ini memberikan makna: (i) sebagai bukti dalam upaya untuk memperteguh komitmen dalam membangun karakter bangsa, sebagai bagian tidak terpisahkan dalam membangun bangsa yang bermartabat. (ii) Melengkapi dan menyempurnakan peraturan dan perundangan yang telah ada, sehingga tidak ada alasan untuk berkelit melakukan pembiaran dekadensi moral yang diakibatkan oleh pornografi dengan segala turunannya.
Meskipun demikian, bukan berarti masalah patologi sosial terutama yang diintrodusir pornografi sudah rampung. Tentu belum. Karena setiap pembuatan peraturan dan perundangan manfaatnya sangat ditentukan oleh workability(derajat efektivitas) dari peraturan dan perundangan itu sendiri. Beberapa pekerjaan yang harus ditindaklanjuti, antara lain, (i) Sosialisasi untuk menginformasikan, memahamkan, dan menyadarkan akan pentingnya kandungan dari UU Pornografi. (ii) Melengkapi perangkat peraturan, baik peraturan pemerintah, menteri, atau peraturan teknis lainnya.
Akhirnya, ucapan terima kasih harus disampaikan kepada DPR, organisasi keagamaan dan kemasyarakatan dan masyarakat secara keseluruhan. Mudah-mudahan UU Pornografi ini bisa menjadi bagian dari persembahan dalam rangka memperingati 100 tahun kebangkitan nasional, 80 tahun sumpah pemuda, dan 10 tahun reformasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar