Kamis, 27 November 2008

UCOK

26/11/2008 10:14 WIB oleh ANTARA Sumut


Irwansyah, Dosen Fakultas Sastra USU

Irwansyah, Dosen Fakultas Sastra USU

Baru hujan tiga jam Medan banjir lagi. Ratusan rumah di bantaran sungai Deli dan sungai Babura kembali terendam akibar banjir kiriman dari gunung. Hujan yang mengguyur kota Medan sejak Sabtu sore hingga malam, hari pertama bulan November, ternyata juga terjadi di kawasan pegunungan sehingga terjadi banjir kiriman. Selain itu sejumlah ruas jalan di kota Medan juga tergenang hingga setinggi lutut orang dewasa.

Bagi warga Kelurahan Aur, Kecamatan Maimoon, selama dua minggu terakhir Oktober kawasan ini sudah empat kali rumah mereka tergenang akibat banjir kiriman (Analisa, 2 November 2008). Mereka lupa barangkali pada pepatah “bila berani berumah di tepi pantai berarti berani dilanda ombak” yang bunyinya menjadi “bila berani berumah di tepi sungai berarti berani dilanda banjir”. Bagi mereka banjir abonemen.

Banjir bukan monopoli kota Medan. Langkat dan Labuhan Batu juga dilandanya. Lebih luas lagi, banjir tidak cuma di Medan ataupun Sumut saja. Banjir juga terjadi di Gorontalo dan Samarinda. Banjir hampir merata di wilayah tanah air. Cocoklah dengan sebutan tanah air. Bila sebagian daerah tanahnya terus berair bulanan.,

Di Sidoarjo malah lebih parah lagi. Banjir lumpur Lapindo berkepanjangan sudah tahunan.
Bulan-bulan yang ada “ber-ber”nya (September, Oktober, November, dan Desember) menyuruh orang siaga menyiapkan ember dan kerabatnya karena bulan-bulan itu memang musim hujan. Curah hujan pada bulan-bulan itu cukup tinggi. Bogor sebuah pengecualian. Di kota itu sepertinya tiada hari tanpa hujan. Bogor pun dikenal sebagai kota hujan. Penyebab lain dituding karena terjadi penggundulan hutan, penebangan liar, drainase yang sudah buruk tidak berfungsi.

Ada musim dan banjir lain yang tengah melanda kita. Hampir serempak di berbagai daerah dilaksanakan Pilkada. Minggu terakhir Oktober saja ada empat daerah di Sumut: Deli Serdang, Langkat, Dairi, dan Taput melaksanakan Pilkada.

Pilkada dan “pil-pil” yang lain (Pilkades, Pilcaleg, dan Pilpres) adalah musim banjir. Yang pertama, banjir janji. Para calon berkampanye menyampaikan visi dan misinya serta berdebat di televisi. Semuanya “merasa terpanggil” untuk “mengadakan perubahan”. Oleh karena itu, pilihlahlah saya. Andaikata saya “dipercaya” atau nantinya “terpilih” menjadi … saya berjanji akan…. Singkatnya, bersama sayalah baru beres. Akan tetapi, bukankah sulitnya untuk tidak berjanji sama sulitnya dengan menepati janji?

Yang kedua, banjir akronim atau singkatan kata. Pilkada adalah singkatan pemilihan kepala daerah. Baru sekaranglah kita baru memilih langsung. Bila kata langsung ikut dalam singkatan bisa jadi akronimnya Pilkadasung ataupun Pilkadal. Yang dipilih pasti Pilkadasung. Pilkadal terasa tidak enak. Masak pemilihan kadal? Kadal adalah sejenis binatang. Kadal yang hidup di pohon dapat bertukar warna sesuai tempatnya (mimikri) bernama bunglon. Orang yang tidak tetap pendirian, asal menguntungkan dirinya disebut bunglon. Masak kita memilih bunglon?

Akronim berbeda dengan singkatan kata, tetapi orang selalu menyamakannya. Memang beti (beda tipis). Akronim ialah singkatan berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan kombinasi huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlakukan sebagai kata, misalnya tilang (bukti pelanggaran, rudal (peluru kendali). Kata radar dan laser adalah akronim. Radar (radio detecting and ranging) laser (light amplication by stimulated emission of radiation).

Singkatan kata ialah bentuk istilah yang tulisannya dipendekkan menurut tiga cara: 1) bentuk tulisannya terdiri atas satu huruf atau lebih, tetapi yang bentuk lisannya sesuai dengan bentuk istilah lengkapnya, misalnya cm yang dilisankan sentimeter, sinus dilisankan sinus; 2) istilah yang bentuk tulisannya terdiri atas satu huruf atau lebih yang lazim dilisankan huruf demi huruf, misalnya DDT (diklorodifeniltrikloroetana) dilisankan d-d-t atau TL (tube luminescent) dilisankan t-l; 3) istilah yang dibentuk dengan menanggalkan sebagian unsurnya, misalnya harian (berasal dari surat kabar harian) lab (berasal dari laboratorium). Perlu diketahui, jika dianggap perlu membentuk akronim perlu diperhatikan dua syarat: 1) jumlah suku kata akronim jangan melebihi jumlah suku kata yang lazim pada kata Indonesia dan 2) mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim.

Dalam membuat akronim faktor enak didengar (eufonik) tampaknya yang lebih jadi acuan. Banyak kata yang muasalnya akronim tidak dirasakan lagi sebagai singkatan karena amat sering dipakai. Alah bisa karena biasa. Malahan ada singkatan dalam singkatan. Gambaran cara berpikir kita singkat dan suka sekali cari jalan pintas barangkali.

Ingat Syampurno? Singkatan yang dipakai pasangan H. Syamsul Arifin dengan Gatot Pujo Nugroho ketika menjadi cagubsu (lagi-lagi akronim). Menciptakan akronim untuk pasangan calon banyak dijumpai. Sebagi amsal, Pilkada Deli Serdang. Ada sembilan pasangan calon bupati dan wakilnya. Pasangan: AZAN (H. Amri Tambunan-Zainuddin Mars), PANTAS (T. Akhmad Thala’a-Satrya Yudha Wibowo), RUPAWAN (Ruben Tarigan-Dedi Irwansyah), AMANAH (H. Wagirin Arman-Hj. Chairiah Sudjono Giatmo), HADIPURA (Hasaidin Daulay-Putrama Alkhairi), KHASS (H. Sihabuddin-Surya Dharma), SURGO (Syaiful Anwar-Sugito), ANDICK (Suprianto- Dicky Zulkarnain), dan PRABU (Rabualam-Rahmad Setia Budi).

Seorang Bang Becak cerita. Dari cerita yang didengarnya dari orang yang bercerita yang katanya cerita itu berasal dari istri salah seorang calon wakil bupati, sang calon telah menghabiskan dana lebih 1 M. Ia geleng-geleng kepala. Kalau dia tahu berapa jumlah nolnya satu milyar mungkin gelengan kepalanya kalah kipas angin. Apa sih yang mereka cari, Pak? tanyanya.

Saya diam, tetapi berpikir. Jawabannya lebih-kurang begini. Namanya juga manusia. Makhluk yang tidak akan pernah puas. Mereka beruang. Punya duit. Sudah berduit ingin yang lain. Uang sendiri sudah berkuasa. Kalau digandengkan uang dengan kekuasaan tentu dunia dalam genggaman. Kuasa pangkat dua. Untuk meraihnya cara apa pun ditempuh. Semuanya berlabel halal.. Terbetiklah berita kemudian tidak sedikit sekolah mereka tidak jelas. Tidak jelas, tetapi ijazah punya. Ijazah aspal (asli tapi palsu). Ada yang terganjal karena itu. Ada yang sedang menikmati jabatannya baru ketahuan. Ada pula sampai akhir jabatan status ijazahnya tidak pernah jelas.

Kembali ke akronim. Seorang teman saya memang ahlinya. Malah menurut saya orang Medan memang jago soal itu. Ada saja akronim yang baru saya dengar kalau kumpul-kumpul. Lima tahun silam sebuah partai besar mengajak saya ikut sumbang-saran dalam rangka memenangkan pemilu. Kalangan akademisi dianggap potensial dan netral. Saya tawarkan beberapa teman berkaliber profesor sesuai kepakarannya berbicara dalam forum mereka. Seorang kenalan, profesor antropologi di Yogyakarta saya hubungi lewat telepon. Ia memang orang Medan. Sering dia ke Medan sebagai anggota kosgoro, katanya. Kosgoro maksudnya diongkosi negoro. Setiap ke Medan beliau tetap menghubungi saya karena saya adalah steering comitte-nya (nyetir mobil). Bagaimana kalau dia ada ke Medan mau menyempatkan diri memberi ceramah pada sebuah partai dalam rangka pemenangan pemilu?

”Kata kawan, sekarang banyak pemimpin yang ucok,” kata saya di telepon. Ucok akronim itu konon berasal dari teman itu.
“Apa itu?” tanyanya dari Yogya.
“Ucok: uang cukup otak kurang.”
Ia terbahak-bahak.
“Apa nggak salah. Uang cekak otak kurang?” sambungnya spontan.
Betul juga! Sudah kere bahlul pula.

TMI, 7 November 2008

Irwansyah, Dosen Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (USU)

Tidak ada komentar: